Oleh Ibnu Adam Aviciena
Selama ini aku salah. Aku kira selama ini sudah musim dingin, ternyata baru mau selesai musim gugur dan mau masuk musim dingin. Aku bilang musim dingin karena udara memang dingin.
Kemarin jam 12 aku keluar rumah, pergi ke pasar. Lagi, sebagaimana biasanya di jembatan banyak (relatif lho) salju menumpuk. Temanku bilang pagi-pagi dia sempat melihat kanal membeku. Siang kemarin itu di atas kap-kap mobil banyak salju. Dan ini membuat aku sangat kedinginan. Kuping terasa sakit dan jari-jari kaki di dalam sepatu sudah tak berasa.
Kemarin sore itu aku berangkat ke Amsterdam Zuid, hendak menemui seseorang. Sebelum berangkat aku cek jadwal perjalanan dan bagaimana perjalanan itu harus aku lakukan. Informasi yang kubutuhkan itu ada di 9292ov.nl. Mengenai semua informasi tentang kota (perjalanan, museum-museum, dan lain seterusnya) yang sudah tersedia secara lengkap di internet sering membuat aku cemburu. Di sini mereka sudah menyediakan informasi secara lengkap, di tempatku mencari warnet saja susah. Sekalinya ada biayanya sewa per jamnya mahal. Wajah dalam ini aku (bangsaku) jadi tertinggal [untuk soal internet nanti aku cerita secara khusus di bagian lain].
Dari internet itulah semua kebutuhan informasi aku dapatkan. Jam berapa saja kereta jalan, ada di trek nomor berapa kereta yang menuju, lalu aku harus ganti kereta di mana, harus naik apa selanjutnya, dan seterusnya. Saat itu aku harus naik dari Leiden Central ke Schiphol lalu pindah ke trek dua turun di Amsterdam Zuid, naik tangga untuk pindah kendaraan, harus naik tram.
Sambil menunggu tram aku melipatkan kedua tanganku di dada untuk mengurangi dingin, tetapi tetap saja badanku menggigil. Banyak orang di kanan kiriku yang sama-sama menunggu tram nomor 5. Kepada seorang lelaki tua aku tanyakan apakah aku benar menunggu tram di sini untuk tujuan ke sana. Dia bilang, ya. Selama menunggu tram yang cukup lama itu (mungkin karena aku yang sudah tidak tahan kedinginan), aku melihat ke pijakanku. Ada salju tercecer di sana. Aku menghirup nafas, terasa udara dingin masuk ke paru-paruku. Aku hembuskan udara itu, berubah jadi asap. Sementara di langit sudah tak ada bintang, selain jarang, kali ini pandangan hanya terbatas sampai beberapa meter saja. Kabut seperti selimut yang akan menutupi kami di atas kasur, tetapi kami tidak akan pernah bisa tidur.
Tram datang, tetapi penuh. Jadi tidak lagi menaikan penumpang. Karena itu harus menunggu lagi 15 menit. Selama 15 menit itu aku merasa betapa Indonesia itu sorga–termasuk bagi para koruptor. Bagaimana tidak, di rumah aku biasa tidur tidak pakai baju tetapi tidak kedinginan. Sampai tengah malam kehidupan terus berjalan. Masa hidup di Indonesia lebih panjang daripada masa hidup di sini. Di sini kehidupan selesai jam 6 sore. Ini pula yang dikeluhkan temanku orang Belanda yang bapak dan kakeknya orang Indonesia.
Tram yang juga penuh datang. Penunggu bergegas. Aku naik. Aku memilih berdiri agak dekat dengan pintu agar aku bisa segera keluar saat halte yang kutuju sudah kutemui. Tram saat itu sesak, yang mau naik dan yang mau masuk kesusahan. Kami banyak yang berdiri. Sekian halte kemudian aku turun turun, aku tidak mendengar pemberitahuan dari pengemudi. Panduanku, sebagaimana informasi yang aku dengar dari seseorang, aku harus turun di halte ke lima.
Aku turun, orang-orang naik. Di halte salju menumpuk, meski tak banyak. Aku semakin tidak tahan. Aku lalu menyebrang jalan. Bertemu dengan seorang perempuan yang sedang membuka gembok sepedanya. Aku tanya apakah dia tahu alamat yang sedang aku cari. Dia bilang, dia tahu nama jalannya. Aku berjalan sesuai petunjuk dia. Kemudian aku bertemu lagi dengan seorang perempuan tua yang akan masuk rumah. Aku ajukan pertanyaan yang sama denagn pertanyaan yang aku sampaikan ke perempuan sebelumnya.
Dia jawab sambil menunjuk ke seberang jalan, “it must be there.”
Lagi di seberang jalan aku tanya apakah dia tahu alamat yang aku bawa. Dia jawab aku sudah ada di lokasi yang sedang aku cari. Aku tinggal mencari nomor rumah yang pas. Dalam 2 atau 3 menit aku temukan. Bel aku pijit-pijit. Tidak ada jawaban. Aku telefon yang punya rumah. Dia jawab, “I am still in the train.” dan dia baru akan sampe ke rumah dalam 30 menit.
Aku sudah tak tahan. Tidak ada ruangan yang bisa menyelamatkan aku dari dingin. Kakiku sudah tak berasa. Untungnya sekitar lima menit kemudia seorang laki-laki menghampiriku dan ternyata dia adalah suami dari wanita yang sedang aku cari. Aku diajak masuk ke rumahnya. Aku dikasih teh panas yang langsung aku minum. Aku bilang, “Het is koud=cuaca dingin.”
Dia menanggapi, “You are still lucky.” Lalu berceritalah dia bahwa beberapa tahun yang lalu kanal biasa membeku. Orang-orang biasa main skateboard. Kalau sudah ngobrol cuaca dengan bule, aku selalu saja bilang bahwa cuaca di Indonesia sangat enak. Dan jawabannya hampir selalu sama: Indonesia itu sorga. Cuacanya enak dan kebudayaannya variatif. Dia juga bilang, waktu yang dibutuhkan untuk jalan-jalan di Eropa sama dengan waktu yang dibutuhkan untuk jalan-jalan di Indonesia.
Setelah urusanku beres, setelah bertemu dengan wanita yang kucari dan kami mengobrol, aku pulang dari Amsterdam Zuid aku ke Amsterdam Central. Dari sana langsung ke Leiden Central. Keluar dari stasiun aku melihat Leiden yang diselimuti kabut. Yang ada hanya putih. Dari sana aku bergegas ke rumah yang jaraknya bisa ditempuh dalam 30 menit jalan kaki. Aku harus jalan. Sepadaku rusak. Di jalan aku melihat salju menutupi mobil-mobil yang diparkir di pinggir jalan. Aku juga merasa paru-paruku sakit.
Sekarang sudah pukul 12:53 siang. Udara minus 4. Gedung-gedung yang ada di stasiun biasanya tampak dari kamarku. Sekarang yang tampak cuma rumah di depan kamarku saja. Selebihnya putih.
Leiden, 20 Desember 2007, 4:pm
Lho bukannya musim dingin di bagian utara bumi mulai tanggal 1 desember mas ibnu? yah, kalo tangannya kedinginan dipijit2 aja, jangan belnya yg dipijit. hehehe