Oleh: Ibnu Adam Aviciena
Nama Multatuli alias Eduard Douwes Dekker (1820-1887) di Banten akhir-akhir ini sering dibicarakan. Saya kira pembicaraan ini berawal dari munculnya semangat baca-tulis. Teman-teman di Banten sering menyebut baca-tulis sebagai literasi, biar terasa agak seksi barangkali. Saat semangat baca-tulis disebarkan oleh sejumlah tokoh di Banten, untuk tidak menyebut nama orang saya sebut nama komunitasnya, seperti Rumah Dunia, Sanggar Sastra Serang, Rumah Baca Plus Baitul Hamdi, Perpustakaan Daerah (Perpusda) Banten, dan rumah-rumah baca lain serta kelompok diskusi yang namanya kurang tergaungkan.
Setelah semangat baca tulis menyebar, di antaranya atas peran media massa, banyak orang terbangunkan kesadaraannya akan tanggungjawab dirinya terhadap masalah yang ada di lingkungannya. Lalu seolah ada kesepakatan bahwa masalah yang harus segera diselesaikan di Banten adalah masalah baca-tulis. Diskusi demi diskusi menjadi fragmen yang menyertai penyebaran semangat baca-tulis ini.
Setelah diskusi-diskusi semacam itu sering diadakan, pertanyaan yang muncul kemudian: siapakah tokoh masa lalu yang pantas menjadi rujukan budaya baca tulis di Banten? Atau, sejak kapan sejarah baca-tulis di Banten dimulai? Dengan tanpa mengadakan penelitian yang serius, muncul jawaban atas pertanyaan tadi, bahwa tokoh baca-tulis di Banten adalah Multatuli dan atau Syekh Nawawi al-Bantani (1813/1815-1897).
Multatuli
Sedikit tentang keduanya: Multatuli, berdasarkan catatan yang ada di museumnya (www.multatuli-museum.nl), lahir di Korsjespoortsteeg, Amsterdam, Belanda pada 1820. Pada umur 18 tahun ia ikut bapaknya ke Hindia Belanda, yang saat ini dikenal sebagai Indonesia. Bapaknya adalah kaptein kapal yang ditumpanginya. Pada 4 Januari 1839 rombongan di kapal tersebut tiba di Batavia.
Selanjutnya Multatuli bekerja sebagai kasir di General Audi-tor’s Office dan pernah juga bekerja di kelompok teater De Eerloze. Karena mengalami banyak masalah, Multatuli pindah-pindah kerja. Ia pernah bekerja di Krawang (1845), Poerworedjo (1846), Menado (1848), Lebak Banten (1856).
Sepanjang 1857-1860 ia mengadakan perjalanan ke beberapa negara di Eropa, di antaranya Prancis, Jerman, Belgia, dan Belanda. Tahun 1859 ia berangkat ke Brussels dan di sana ia menulis Max Havelaar of the Koffiveilingen der Nederlandse Handelsmaatschappij (Max Havelaar atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda). Tahun 1877 ia memutuskan berhanti menulis. Sepuluh tahun kemudian, 19 Februari 1887, Multatuli meninggal di Nieder-Ingelheim.
Syekh Nawawi
Sementara Syekh Nawawi al-Bantani (tanpa punya museum dan website), menurut catatan Hery Sucipto, Ust. H. Agus Zainal Arifin, dan Mamat Salamet Burhanuddin di muslimdelft.nl, lahir di Kampung Tanara, Serang, Banten, pada 1813 M (sumber lain menyebutkan 1815 M) dan meninggal pada1314H/1879 M, dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah. Nama lengkap Syekh Nawawi al-Bantani adalah Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi. Bapaknya, KH. Umar bin Arabi, seorang penghulu di Kecamatan Tanara.
Sejak kecil KH Umar bin Arabi sudah mengarahkan anak-anaknya untuk menjadi ulama. Karena itu sejak kecil Syekh Nawawi sudah mengaji, di antaranya kepada KH Sahal seorang ulama terkenal di Banten saat itu. Selain itu ia juga belajar kepada Kiyai Yusuf di Purwakarta. Kemudian pada umur 15 tahun ia bersama saudaranya berangkat ke Mekkah untuk beribadah haji. Musim haji selesai Syekh Nawawi tidak pulang, ia tertarik untuk mengaji kepada Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul Hamid Daghestani.
Setelah tiga tahun belajar di Mekkah Syekh Nawawi pulang dan mengajar di pesantren milik ayahnya. Karena ulama saat itu mendapat tekanan dari Belanda, ia kembali ke Mekkah. Menurut Christiaan Snouck Hurgronje alias Abdul Ghaffar (1857-1936), Syekh Nawawi di Mekkah setiap hari memberikan kuliah sejak pagi hingga siang. Di antara muridnya dari Indonesia ialah KH Kholil Madura, K.H Asnawi Kudus, K.H. Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang.
Syekh Nawawi termasuk ulama penulis yang produktif. Hari-harinya digunakan untuk menulis. Beberapa sumber menyebutkan Syekh Nawawi menulis lebih dari 100 buku, 34 di antaranya masuk dalam Dictionary of Arabic Printed Books. Dari sekian banyak bukunya, beberapa di antaranya antara lain: Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, al-Aqdhu Tsamin, Uqudul Lijain, Nihayatuz Zain, Mirqatus Su’udit Tashdiq, Tanqihul Qoul, syarah Kitab Lubabul Hadith, Nashaihul Ibad.
Multatuli-Nawawi: Harus Bagaimana?
Nama Multatuli dan Nawawi terus bersaing. Nama mereka terus digunakan untuk menamai sesuatu. Di STKIP Setiabudhi Rangkasbitung Lebak nama Multatuli dijadikan nama Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), nama jalan, nama alun-alun, dan nama-nama lainnya. Khusus untuk Multatuli Rumah Dunia pada Mei 2006 membuat film dokumenter Jejak Multatuli: Aku Pasti Dibaca. Di lain pihak Rumah Dunia juga menggunakan nama Syekh Nawawi sebagai nama perpustakaan yang ada di sana. Bahkan gagasan menggunakan nama Syekh Nawawi sebagai nama award, Syekh Nawawi Award, untuk tokoh baca-tulis di Banten sudah lama dibicarakan.
Siapa yang berhak menjadi tokoh baca-tulis Banten dari masa lalu yang akan menjadi rujukan? Baik Multatuli maupun Nawawi keduanya memiliki kelebihan; keduanya sama-sama tidak lama di Banten dan tidak menghabiskan hidupnya di Banten. Multatuli meninggal di Nieder-Ingelheim dan Syekh Nawawi meninggal di Mekkah. Bukan yang paling penting juga memperdebatkan kebenaran cerita yang ada di Max Havelaar tentang penguasa Lebak tahun 1856 Karta Nata Nagara—sebagaimana ditolak keturunannya.
Yang lebih penting adalah mengabadikan keduanya baik secara fisik maupun secara semangat. Secara fisik bisa dengan mengumpulkan dan mendokumentasikan peninggalan keduanya: buku-buku dan lain sebagainya. Karena website Multatuli sudah ada, kenapa orang Banten tidak membuatkan website dan museum Syekh Nawawi. Menjadikan nama mereka sebagai nama perpustakaan, nama award—sebagaimana sudah dimulai, ialah bagian lain untuk menghirup semangat keduanya. Atau, pada tahapan lebih jauh, orang Banten menyediakan satu sudut perpustakaan yang bersisi buku atau bahan dokumentasi lain yang berkenaan dengan Banten. Di Universitas Leiden dan KITLV (Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) Belanda, misalkan, ada lebih dari 500 buku tentang Banten. Kenapa tidak diusahakan dikopi dan dibawa pulang ke Banten.
Penulis, Relawan Rumah Dunia, Alumni IAIN Banten,
sedang kuliah Islamic Studies di Universitas Leiden Belanda.
Salam!